Sabtu, 25 Maret 2017

Kami sama

Mulai hari ini, aku akan menganggapmu sudah mati.
Karena setelah pergumulan beberapa bulan yang tiada henti ini, aku merasa kamu sangat mengganggu dan.. ya aku merasa tidak ada alasan untuk bersikap baik pada makhluk tidak berhati sepertimu. Jujur saja aku pernah merasa sama buruknya denganmu dan merasa pantas untuk diperlakukan buruk.

Tapi aku salah..

Dari awal kamu memang senang menyakiti orang-orang sepertiku karena kamu tahu apa kelemahanku, dan bagimu aku sama sekali tidak berarti. Tapi bodohnya aku selalu meyakinkan diri bahwa bagimu aku punya arti.







"Cih menyedihkan" ucap gadis itu.
Sambil menyeruput secangkir teh yang ada ditangan kirinya, ia membolak-balikan tiap halaman. Sesekali ia juga mencoret kata-kata yang ada pada buku itu. Kadang garis bibirnya tertarik ke atas walau tetap dengan tatapan dingin.

Gadis satunya lagi meronta-ronta, tapi tidak berdaya karena tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi.

Gadis itu lalu berjalan mendekati gadis yang sedang terikat, mengusap kepalanya, lalu menatapnya lekat-lekat.

"Aku bukan sedang cemburu, tapi aku tidak suka wilayah teritorialku diusik. Aku senang semuanya telah berakhir, karena seperti yang kamu bilang bahwa baginya kamu tidaklah berarti. Jadi jika kamu mati hari inipun tidak akan ada yang datang untuk mencari. Aku hanya ingin memastikan hal semacam ini tidak terulang lagi."

Kemudian ia tersenyum dan kembali ke kursinya, menikmati sisa teh yang ada pada cangkirnya.













Jauh dibelakang gadis yang terikat itu, ada sosok pria yang sedang berdiri menyandar pada tembok, iapun ikut tersenyum. Benar-benar tidak punya hati.

Kau bilang aku hanya harus menunggu, tapi..

Sore itu hujan begitu deras, sama seperti berbelas tahun yang lalu saat terakhir kali bertemu di bulan Desember. Aku ingat saat kau mengayuh sepeda merahmu lalu berdiri di depanku. Matamu sembab seperti habis menangis, tapi kau tetap tersenyum dan entah mengapa ada perasaan sedih menjalar keseluruh tubuhku. Aku merasa asing dengan perasaan itu. Yang ku tahu tidak peduli sebasah apapun pakaianmu, tidak peduli seberantakan apa rambutmu, Aku hanya ingin memelukmu dan memastikan bahwa..

"Kau hanya harus menungguku"


Semuanya berawal dari perkenalan singkat saat usiaku 13 tahun. Seorang anak laki-laki sambil menenteng sepedanya menghampiriku sambil tersenyum. Matanya begitu bulat, wajahnya manis, membuatku tidak sanggup menolak uluran tangannya. Dan saat itu dia memperkenalkan dirinya sebagai Dimas.


Semenjak hari itu aku dan Dimas sering bertemu di sekolah, dia orang yang menyenangkan dan penyabar luar biasa. Tidak peduli dengan rumor yang beredar tentangku, tidak peduli betapa anehnya cara bicaraku. Saat itu hanya dia satu-satunya yang rela memapahku hingga sanggup berdiri kembali.

Dunia terasa begitu sederhana karena kami tidak butuh uang yang banyak, kami tidak butuh hingar bingar, dalam pikiran kami yang sederhana itu hanya bersepeda dan pergi ke tempat favorit kami saja sudah menyenangkan. Itu bukan tempat mewah dengan sorotan lampu atau banyak orang didalamnya, hanya sebuah tempat dengan pemandangan gunung dan sawah sepanjang matamu memandang. Tapi disanalah kami sering menghabiskan sore.

Usianya yang setahun lebih muda membuat pola pikirku berubah. Aku tak harus memaksakan diri sedewasa anak-anak lainnya, cukup menikmati apa yang aku punya dan bersenang-senang dengannya sudah cukup, karena memang seharusnya begitu. Usiaku belum 17, lalu apa yang harus aku takutkan selain kehilangan moment bermain?
***

Dua pasang mata saling menatap dalam diam. Sebuah buku dan secarik kertas tergeletak manis di depan mereka. Sesekali si wanita memperhatikan sampul buku berwarna coklat yang sudah mulai menghitam itu, ia ingat betul pria yang kini ada di depannya bukan tipikal orang yang senang membaca buku. Iapun menarik buku tersebut dan mulai membacanya...


"Aku sudah menunggu untuk datangnya hari ini, cukup lama hingga aku khawatir kamu tidak lagi mengingatku. Mungkin kata 'kita' itu tidak lagi ada, tapi kenangannya selalu punya tempat tersendiri.. di hatiku"
 

si Waktu, Kenangan, dan Sedih

Aku terbaring dalam lamunan. Lagu-lagu bernuansakan cinta begitu memekakkan telinga. Liriknya membawaku melayang-layang, jauh tinggi sekali. Sepertinya aku tahu dia akan membawaku kemana, bertemu sang waktu dan menyelam bersama kenangan.



Sesungguhnya aku hanya butuh kepastian bahwa bahagia itu memang ada tanpa perlu dibayang-bayangi ketakutanku akan kesedihan dan masalalu. 

Lagu ini, suasana itu, semuanya berputar-putar mengisi ruang pikiranku secara bergantian. Kau tahu? Dulu si Bahagia pernah mengetuk pintu meminta izin untuk masuk kesini, tapi aku tolak dengan halus, Dengan alasan bahwa aku terlalu sedih untuk bersenang-senang.

Tidak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar lagi. Kali ini lebih nyaring. Tapi belum sempat aku menyentuh daun pintu, dia sudah menerobos masuk. Aku tak sempat melihat wajahnya, dia terlalu cepat. Dia berlarian mengelilingi ruangan dan membuka pintu-pintu. Padahal aku yakin aku sudah mengunci beberapa ruangan, tapi bagaimana dia bisa membukanya semudah itu?

Aku dibuat kesal melihat kelakuannya yang tidak sopan. Aku kejar, tapi aku kalah cepat. Aku panggil, dia tidak menoleh, tetap asik dengan kegiatannya. Sampai akhirnya ia berdiri di depan sebuah pintu yang besar berwarna merah kehitaman. Aku ingat itu adalah pintu terakhir yang aku kunci kemarin. Pintu dari ruangan yang paling megah di tempat ini. Dari kejauhan terlihat dia seperti sedang menimbang-nimbang akan membukanya atau tidak, kesempatan itu segera aku manfaatkan untuk menangkapnya.

Aku cengkram tangan kanannya, lalu aku paksa dia menatapku. Tapi yang aku dapat bukan wajah penuh penyesalan ataupun ketakutan, melainkan senyumannya yang penuh arti. Sekarang aku dapat mengenalinya, dialah Si sedih.
"Jangan buka pintu yang itu!" kataku dengan tegas
"Aku tahu apa yang ada di dalamnya, ayo kita masuk" balasnya sambil tersenyum.
"Tapi aku sudah berjanji tidak akan kembali ke ruangan itu."
"Jadi karena itu kamu menguncinya kan?" kini senyumnya semakin lebar

Aku melepaskan cengkramanku dan menunduk malu. Ya, karena aku tahu apa yang ada di dalam makanya aku memutuskan untuk menguncinya. Melihat aku yang tidak lagi berdaya, si Sedihpun membuka pintu tersebut. Aku berusaha memejamkan mata, tapi dia justru menarikku untuk masuk kedalam. Kulihat disana ada dua sosok yang sedang asik bermain, mata mereka berbinar-binar, wajah mereka tampak sangat bahagia, tapi entah mengapa kebahagiaan mereka justru membuat aku merasa terluka.

Karena di dalam ruangan semegah itulah aku mengunci si Kenangan dan Waktu bersamaan. Aku tidak ingin mereka mengisi ruang pikiranku dengan kebahagiaan yang mereka buat. Aku tidak suka jika si Waktu bersenang-senang dengan si Kenangan, karena aku tahu setelah itu pasti si Sedih akan datang. Dan benar saja, sekalipun aku sudah menutup rapat-rapat kenangan dan waktu, sedih akan terus mencari-cari jalan untuk menemukan mereka.

Tidak bisakah sekali saja semuanya berjalan sesuai keinginanku? Tidak bisakah sang Waktu hanya bermain dengan Bahagia tanpa perlu membawa Kenangan?